Wahyono, Effendi (2009) Desentralisasi Dan Otonomi Daerah Di Jawa Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda: Perubahan Pemerintahan Daerah Berdasarkan Bestuurshervormingswet 1922. Doctoral thesis, Universitas Indonesia.
|
Text
effendi_wahyono_jpg.pdf Download (37MB) | Preview |
Abstract
Desentralisasi merupakan bentuk modernisasi birokrasi yang dilakukan oleh pemerintaha Hindia Belanda. Kebijakan desentralisasi dikeluarkan karena adanya tuntutan perlunya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan negara. Landasan desentralisasi pertama adalah Undang-undang Desentralisasi (Decentralisasiwet)tahun 1903, yang kemudian diperbaharui melalui Undang-undang Pembaharuan Pemerintah (Bestuurshervormingswet) tahun 1922. Wilayah yang didesentralisasikan menurut Desentralisasi Besluit 1903 tidak dapat dijalankan dengan efektif karena terlalu jauhnya jangkauan wilayah yang didesentralisasikan, terutama masyarakat pribumi. Pembaharuan pemerintahan diperlukan untuk mewadahi kekurangan dari Decentralisasiwet 1903. Fokus kajian ini adalah Undang-undang Pembaharuan Pemerintah yang menata ulang pembagian pemerintah daerah yang didesentralisasikan di Jawa, yang kemudian membagi Jawa menjadi tiga propinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kajian ini menggunakan pendekatan teori moderniasai. Masalah yang akan dijelaskan dalam penelitian ini adalah apakah benar desentralisasi dan otonomi daerah dengan dewan-dewan perwakilan rakyat daerahnya, khususnya setelah pembaharuan pemerintah tahun 1922 telah berhasil mewujudkan kedaulatan rakyat atau pemerintahan yang partisipatif dalam pengelolaan pemerintah daerah? Penelitian dilakukan dengan menganalisa sumber sejarah berupa dokumen-dokumen kolonial (arsip) baik yang diterbitkan maupun yang tidak, serta dokumen-dokumen tercetak lainnya seperti surat kabar, majalah, dan buku-buku tentang desentralisasi yang terutama diterbitkan pada periode akhir abad ke-19 hingga akhir masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda tahun 1942. Hasil kajian atas dokumen-dokumen tersebut menunjukkan bahwa desentralisasi dan otonomi daerah belum menunjukkan terwujudnya kedaulatan rakyat. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan daerah sebagaimana layaknya dalam negara demokratis belum terwujud. Sebaliknya, desentralisasi justru melahirkan birokrasi pemerintahan kolonial yang semakin kuat, dengan semakin terbentuknya format pemerintahan daerah dalam kerangka Hindia Belanda sebagai satu kesatuan wilayah. Pemerintah Belanda memiliki kepentingan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai kesatuan wilayah yang menguntungkan bagi kerajaan Belanda, sehingga perlu kontrol pusat yang kuat terhadap daerah. Kedudukan kepala daerah otonom yang merupakan pejabat pemerintah pusat menunjukkan kecenderungan pemerintahan yang sentralistik.
Item Type: | Thesis (Doctoral) |
---|---|
Additional Information (ID): | 40242 |
Uncontrolled Keywords: | Decentralization, regional autonomy, government reform, public policy, Desentralisasi, otonomi daerah, pembaharuan pemerintahan, kebijakan publik |
Subjects: | 300 Social Science > 350-359 Public Administration and Military Science (Administrasi Negara dan Ilmu Kemiliteran) > 352 Local Regulation/Regional Autonomy (Peraturan Daerah/Otonomi Daerah) |
Divisions: | Thesis,Disertasi & Penelitian > Disertasi |
Depositing User: | CR Cherrie Rachman |
Date Deposited: | 17 Oct 2016 08:55 |
Last Modified: | 09 Oct 2021 01:55 |
URI: | http://repository.ut.ac.id/id/eprint/2740 |
Actions (login required)
View Item |